Tamparan untuk Institusi Hukum – Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK di Banten mengungkap skandal pemerasan yang melibatkan jaksa, pengacara, dan penerjemah. Kasus ini menjadi tamparan keras bagi lembaga penegak hukum dan menguak titik rawan korupsi di sistem peradilan pidana.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali melakukan operasi yang menyentak publik. Pada Rabu malam, 18 Desember 2025, lembaga antirasuah itu mengamankan lima orang dalam sebuah Operasi Tangkap Tangan (OTT) di Banten. Yang mengejutkan, dari kelimanya, tiga orang merupakan oknum penegak hukum aktif dari lingkungan Kejaksaan.
Operasi ini mengungkap dugaan praktik pemerasan sistematis terhadap seorang Warga Negara Asing (WNA) yang terjerat perkara hukum. Kasus ini menjadi bukti nyata betapa celah korupsi masih menganga di tubuh institusi yang seharusnya menjadi penjaga keadilan.
Tamparan untuk Institusi Hukum Kronologi OTT dan Identitas Tersangka
Tamparan untuk Institusi Hukum OTT dimulai pada Rabu malam, 18 Desember 2025. KPK mengamankan kelima individu tersebut di wilayah Banten. Setelah melalui proses pemeriksaan awal di Gedung Merah Putih KPK, sebuah perkembangan penting terjadi.
KPK memutuskan untuk menyerahkan penanganan kasus sepenuhnya kepada Kejaksaan Agung. Keputusan ini diambil karena Kejaksaan Agung ternyata telah lebih dulu menerbitkan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) pada 17 Desember 2025, sehari sebelum OTT KPK digelar. Ini menunjukkan bahwa kasus tersebut sudah dalam radar penyidik Kejaksaan.
Kejaksaan Agung kemudian secara resmi menetapkan kelima orang tersebut sebagai tersangka. Mereka adalah:
No. Nama / Inisial Jabatan / Profesi Peran Diduga 1 RZ Jaksa pada Kejaksaan Tinggi (Kejati) Banten Diduga sebagai pelaku utama pemerasan. 2 HMK Jaksa pada Kejaksaan Negeri (Kejari) Tigaraksa Diduga terlibat dalam skema pemerasan. 3 RV Staf pada Kejari Tigaraksa Diduga membantu proses administrasi atau koordinasi. 4 DF Pengacara Diduga menjadi perantara antara WNA dengan oknum jaksa. 5 MS Penerjemah Diduga memfasilitasi komunikasi dengan WNA.
Modus Operandi: Memanfaatkan Perkara Hukum WNA
Kasus ini berawal dari seorang Warga Negara Asing yang menghadapi masalah hukum, diduga terkait dengan pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Menurut penyelidikan, ketiga oknum aparat bersama pengacara dan penerjemah diduga menyusun skema untuk memeras sejumlah uang dari WNA tersebut. Modusnya adalah dengan menjanjikan penghentian perkara atau kemudahan dalam proses hukum dengan imbalan sejumlah uang.
Keterlibatan pengacara (DF) dan penerjemah (MS) menunjukkan skema yang terorganisir. Penerjemah berperan dalam komunikasi, sementara pengacara mungkin bertindak sebagai pihak yang mengadvokasi sekaligus “menegosiasikan” jumlah uang dengan kliennya, yang kemudian didistribusikan kepada oknum penegak hukum.
Respons Kejaksaan Agung dan Implikasi Institusi
Penetapan tersangka oleh Kejaksaan Agung terhadap anak buahnya sendiri merupakan langkah yang patut diapresiasi. Juru Bicara Kejaksaan Agung, Ketut Sumedana, menegaskan bahwa lembaganya tidak akan memberikan perlindungan atau pembelaan terhadap oknum yang terbukti bersalah. Mereka berkomitmen untuk memproses kasus ini secara transparan dan sesuai hukum.
Namun, di balik itu, kasus ini adalah tamparan keras bagi citra dan kredibilitas Kejaksaan. Dalam waktu singkat, publik menyaksikan dua OTT berbeda yang menjerat jaksa—di Banten dan di Kalimantan Selatan (Kajari Hulu Sungai Utara). Hal ini memperkuat anggapan publik tentang masih lemahnya integritas dan pengawasan internal di tubuh penegak hukum.
Titik Rawan Korupsi di Sistem Peradilan Pidana
Para pengamat dari Indonesia Corruption Watch (ICW) telah lama memperingatkan tentang titik-titik rawan korupsi di sistem peradilan pidana. Kasus ini adalah contoh nyata dari penyalahgunaan wewenang di tahap penyidikan dan penuntutan.
Wewenang besar yang dimiliki jaksa dan polisi—seperti kewenangan untuk menahan, menghentikan penyidikan (SP3), atau menawarkan kerja sama (plea bargaining)—dapat dengan mudah disalahgunakan jika tidak disertai pengawasan ketat, transparansi, dan akuntabilitas. Celah inilah yang sering dimanfaatkan untuk memeras pihak-pihak yang sedang berurusan dengan hukum.
Tamparan untuk Institusi Hukum Pelajaran dan Peringatan Keras
Kasus OTT terhadap tiga oknum jaksa di Banten ini bukan sekadar berita tentang penangkapan. Ini adalah peringatan keras (wake-up call) bagi semua institusi penegak hukum di Indonesia.
- Reformasi Internal Mendesak: Lembaga seperti Kejaksaan dan Kepolisian harus mempercepat reformasi internal, memperketat pengawasan, dan menciptakan sistem yang meminimalisir kontak langsung dan negosiasi tidak transparan antara aparat dengan pihak yang berperkara.
- Pentingnya Pengawasan Eksternal: Peran pengawasan eksternal dari KPK, BPK, dan masyarakat sipil menjadi semakin krusial untuk mencegah penyalahgunaan wewenang.
- Komitmen Pimpinan: Pernyataan tegas Jaksa Agung untuk menindak tegas anak buahnya yang bersalah harus diikuti dengan tindakan nyata dan konsisten, sehingga menciptakan efek jera.
Publik kini menunggu proses hukum yang adil dan transparan. Kejaksaan Agung diuji bukan hanya dalam menuntaskan kasus ini, tetapi juga dalam membuktikan bahwa mereka serius membersihkan institusi dari oknum-oknum yang mencoreng nama baik penegak hukum. Hanya dengan cara itulah kepercayaan publik yang terus terkikis dapat sedikit demi sedikit dipulihkan.

